Aku Memilih tidak Menikah dan Aku Bahagia dengan Itu

rahmat.suardi
3 min readDec 14, 2020

--

by Jeremy Bishop

“Aku tak punya uang untuk kawin. Seenaknya saja kalau bicara.”

Fandi begitu ketus padaku. Padahal aku hanya ingin dia bahagia. Memiliki pasangan hidup tidak buruk-buruk amat. Meski pasang surut perkawinan itu ada. Tapi jika tak menikah justru semakin menenggelamgkannya dalam kesepian.

Fandi adalah kawanku sejak kuliah. Sebenarnya dia orang berada. Bapaknya dulu camat di kampungnya. Hanya saja diciduk polisi akibat rajin main judi. Perkara judi juga yang membuat bapaknya gelap mata menilap kas kantor. Kena pecat dan jatuh miskin. Imbasnya ke anak istri.

“Hahahahaha,” aku menertawainya.

Fandi bukanlah manusia yang miskin prinsip. Tapi baginya menikah adalah masuk di gerbang penderitaan.

“Hidup sendiri sudah membuat diriku tidak becus menghadapi dunia. Apa lagi harus membawa orang baru di arusnya. Aku tidak mau jadi gila,” katanya.

Aku pernah menganggap menikah adalah dunia paralel dari kerepotan. Apa lagi memiliki anak. Tanggung jawab yang diemban bertubi-tubi tebalnya. Hanya saja stigma menikah yang aku bangun hanyalah sebatas khayalan tingkat tinggi yang tidak pernah terjadi sama sekali. Ini ruginya jika memiliki persepsi awam. Tidak bertanya pada yang sudah mengalami. Atau minimal baca buku atau ikut seminar pranikah. Hal terakhir tidak aku lakukan. Bertanya dan membaca sudah cukup membuatku yakin untuk membangun rumah tangga.

Fandi pernah memiliki kekasih. Perempuan itu setia dan sabar di dua tahun awal. Di tahun ketiga mulai merasa ragu pada keseriusan Dimas. Sering bertengkar dan tak saling sapa. Pertengahan tahun keempat perempuan itu meminta putus. Katanya ia butuh kejelasan hubungan. Dan menikah adalah bentuk utuh dari kejelasan itu. Beberapa bulan setelahnya perempuan itu menikah dengan seorang Polisi berpangkat Bripda.

Bagaimana sikap Fandi?

Biasa saja. Diputuskan atau tepatnya ditinggal menikah tidak membuatnya harus mengurung diri di kamar dan menangis berhari-hari. Tidak pula singgah niatan bunuh diri. Dunianya berputar seperti biasa. Ala kadarnya.

“Dia yang memutuskan atau aku yang akan melakukannya. Itu saja kemungkinan yang akan terjadi. Tapi aku cukup bersyukur dia yang memilih mundur. Aku tak perlu merasa terlalu bersalah,” sangat santai Fandi menanggapi keputusan mantan kekasihnya itu.

Wajah Fandi, jika dibandingkan aku, tentu lumayan rupawan. Banyak yang naksir. Hanya saja tidak pernah digubrisnya. Rupa memang bukan cerminan jodoh mudah melekat. Akan ada faktor lain yang lebih menentukan.

“Aku memang single, tapi bukan playboy. Kasihan perempuan-perempuan itu jika aku kencani satu-satu. Lagi pula tak ada perempuan yang mau dipermainkan perasaannya.”

Sudah dua hari ini Fandi menginap tempatku. Dia pemburu berita. Dia bekerja di salah satu media online berlokasi di Jakarta. Kasus korupsi kepala daerah di kabupaten tempatku tinggal membuatnya menawarkan diri pada kantor agar diutus memburu berita. Benci benar dia terhadap tikus-tikus pemerintahan.

“Mat, sini aku beritahu,” Fandi mengubah posisi duduknya, “Antara aku dan kau untuk persoalan asmara bagai Kalimantan Utara dan Jogja. Radiusnya jauh. Tak tembus di akal jika ditempuh tanpa alat transportasi. Kau jatuh cinta sekali, mati-matian di dalamnya lalu menikah. Punya anak. Pekerjaan stabil. Hidup bahagia. Sementara aku? Pecundang sekali. Hasrat menikah tidak ada. Ingin bahagia tak tahu caranya. Kacau sekali hidupku, Mat. Jadi berhenti mengomporiku dengan persoalan menikah,” sorot matanya tajam. Sepertinya apa yang dia katakan begitu serius.

“Aku sangat paham maksudmu, Fan. Aku hanya ingin menyelamatkan jiwamu dari rasa sunyi. Kulihat senyummu selalu getir. Apakah itu simbol kesepian? Aku merasa pendamping hidup sedikit bisa mengubah hidupmu. Setidaknya kamu punya tujuan. Bagaimana pun juga pasangan dan keturunan akan membuatmu semakin bergairah melanjutkan hidup.”

“Kesepian? Kau tidak salah sepenuhnya. Hanya saja caraku mengusir kesepian itu seperti yang aku lakukan di kotamu ini. Berburu mangsa. Penipu rakyat. Mereka adalah mediumku untuk bersenang-senang. Menikah? Jangan pernah tawari aku lagi.”

Aku sadar Fandi adalah makhluk yang tidak punya jawaban atas pertanyaannya sendiri. Apakah bahagia ada tanpa harus memiliki pasangan? Atau jangan-jangan selama ini dia sibuk berburu berita untuk melenyapkan duka di dadanya. Apakah ada patah hati lain yang tidak aku tahu?

Caraku memaknai hidup memang dengan menikah. Sementara Fandi sudah puas dengan kesendirian. Jika sudah begitu aku tak bisa memaksanya memperbaharui status.

--

--

rahmat.suardi
rahmat.suardi

Written by rahmat.suardi

anything about football and coffee.

No responses yet