Dari Makassar ke Johor Bahru

rahmat.suardi
4 min readAug 4, 2023
Tahap 7 penempatan SIJB

Jika tidak berani keluar dari zona aman, saya tidak bisa merasakan banyak kejutan.

Perjalanan Memulai

Saat saya terpikir untuk mengulas jejak mengajar di Johor Bahru. Saya sempat kebingungan, bagaimana cara memulainya? Cerita apa yang mesti saya sajikan? Terlalu banyak kejadian yang tidak semuanya harus disampaikan. Ada batas yang tidak boleh saya langkahi.

Kemudian pikiran itu berlanjut, apakah saya menulis agar cerita tersebut terbaca banyak atau saya menulis untuk memuaskan hasrat yang menggumpal di dada? Hingga tidak perlu mempedulikan statistik terbaca atau tidaknya oleh orang lain.

Tapi bagaimana pun juga, saya tidak boleh mengabaikan posisi penikmat cerita. Terkoneksi dengan pembaca -entah banyak atau segelintir saja- adalah pihak yang mesti digaet sehingga semangat untuk terus melanjutkan apa yang sudah dimulai.

Hari-hari sebelum ke Malaysia

Sehari sebelum pengumuman akhir apakah berangkat bertugas atau coba lagi di lain kesempatan, saya masih berada di rumah sakit menemani Bimo, keponakan saya, yang baru saja dioperasi. Ia banyak tidur, sementara saya sibuk berdoa agar pengumuman besok tengah hari bisa membayar lunas persiapan yang sudah mati-matian diupayakan.

Tugas menjaga Bimo untuk sementara rampung. Saya bergantian dengan ibunya. Giliran saya di rumah berbenah. Menyiram tanaman dan memberi makan burung kakatua yang umurnya lebih tua dari Bimo yang baru saja lulus SMA.

Seperti perkiraan, pengumuman datang beberapa menit setelah azan duhur. Kabar kelulusan tidak saya cek lewat dokumen yang di-publish oleh Kemendikbud melainkan salah satu kawan yang juga diliputi rasa senang karena ikut lolos.

Hari-hari berikutnya terisi dengan kegiatan menyiapkan dokumen yang harus dipenuhi sebagai syarat keberangkat ke Malaysia. Pertama kali buat paspor dan pertama kali dihampiri oleh calo. Tawaran sehari jadi dengan biaya jasa 4 kali lipat tentu saya tolak halus. Saya tidak buru-buru dan memilih jalur seharusnya meski memakan waktu hingga 4 hari kerja ketika itu.

Tidak ke ladang sawit tapi kota besar

Kejutan pertama muncul saat lokasi tempat tugas bukan di ladang sawit. Padahal mental saya sudah siap jika harus berjibaku dengan medan yang sulit, akses jaringan internet minim, dan hidup bersusah-susah bahkan. Semuanya sudah tertempa saat satu tahun mengajar di Papua sebelumnya.

Nyatanya, kaki saya dibawa ke Johor Bahru. Sangat jarang mendengar suatu daerah dengan dua suku kata. Karena kurang familiar, saya perlu bantuan google untuk mencari tahu lokasi Johor Bahru. Ternyata tepat ada di atas Singapura. Ia masuk wilayah Malaysia Semenanjung.

Informasi minim tersebut semakin membuat saya penasaran. Di kertas pengumuman hanya tertulis Sekolah Indonesia Johor Bahru (SIJB). Tidak ada lagi selain itu. Tempat bertanya juga tidak ada. Angkatan sebelumnya tidak pernah ada yang ditugaskan ke sana. Ada 10 orang yang akan ditugaskan ke area Semenajung. Lima ke Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL), setengah sisanya ke SIJB.

Makassar-Jakarta-Sabah-Johor Bahru

Sebutan setiap angkatan guru yang dikirim ke Malaysia setiap tahunnya disebut Tahap. Untuk rombongan yang ada saya sebagai pesertanya berlabel Tahap 7. Jika dikalkulasikan perdaerah rombongan dari Makassar adalah yang terbanyak. Jika tak salah ingat, ada 18 orang menyerbu Jakarta. Semangat kedaerahan ini yang mengikat kami menjadi kesatuan yang kompak dan terkadang berisik.

Di Jakarta, kami bertemu dengan semua Tahap 7 yang berangkat dari lain. Urusan dokumen dan bekal wejangan dari orang-orang penting dan berpengalaman di ladang sawit menjadi menu utama selain berkenalan sesama angkatan. Tentu saya mencari teman-teman yang akan bertugas ke Malaysia Semenanjung. Merekalah yang sejatinya akan paling sering berinteraksi dengan saya.

Jakarta-Kuala Lumpur-Tawau adalah rute yang panjang. Keluar dari hotel saat masih subuh dan tiba di Sabah menjelang magrib menguras tenaga. Lelah itu tidak usai begitu saja dan bisa meluruskan badan di atas tempat tidur. Semua Tahap 7 segera bersih-bersih dan harus menghadiri acara penyambutan dari orang-orang penting. Yang paling saya ingat tentu saja Konjen KJRI Johor Bahru, Bapak Taufiqur Rijal. Orasinya berapi-api menyambut guru-guru baru untuk SIJB. Bagaimana tidak, berkat jasanya SIJB bisa lahir. Seperti seorang bapak yang menyambut anak-anaknya pulang merantau.

Orang-orang penting sudah bubar karena diburu agenda berikutnya atau pesawat paling pagi dan butuh istrahat. Sementara guru-guru Tahap 7 yang minim pengetahuan medan di ladang sawit masih harus menyelesaikan agenda terakhir: bertemu dengan senior tahap-tahap sebelumnya. Kami para pioner Malaysia Semenanjung dipersilakan kembali ke kamar masing-masing. Perjalanan kami belum tuntas. Kami belum sampai di lokasi. Besok pagi kami harus terbang lagi ke Kuala Lumpur.

Lima jam sebelum masuk magrib, rombongan Semenanjung sudah tiba di Kuala Lumpur International Airport (KLIA). Kami berpisah dengan rombongan guru SIKL. Mereka sudah dijemput. Sebentar lagi mereka akan melihat sekolah tempat mereka bertugas. Sementara kloter SIJB harus menunggu satu penerbangan lagi menuju Johor Bahru.

Di sini kami bertemu dengan Pak Rijal dan Ibu Erma. Guru SIJB juga. Mereka sebelumnya tergabung dengan Tahap 2. Setelah purna tugas, mereka ditugaskan kembali untuk mengisi kekurangan slot untuk guru di SIJB.

SIJB sedang dalam masa merintis. Keberadaannya masih senyam di mata pemerintah Malaysia. Maka dari itu butuh guru-guru berpengalaman seperti Pak Rijal dan Ibu Erma untuk membersamai langkah pertama kami.

Kami tiba di Johor Bahru saat azan magrib mengudara. Berlima dari Jakarta, bertujuh tiba di Johor Bahru.

Hari-hari berikutnya adalah kebersamaan dan cerita-cerita yang terbuat satu persatu.

Jogja, 2023.

--

--