Ibu dan Cerita-Cerita Dulu
Saya seringkali menengok jauh ke belakang. Masa di mana Ibu masih tangguh dan belum tersentuh penyakit yang membawanya ke liang lahat. Ini semacam kerinduan seorang anak kecil yang menangis sejadi-jadinya pada seorang Ibu padahal hanya ditinggal ke pasar sebentar. Namun semakin lama merasakan yang ada adalah semakin saya butuh wujud Ibu yang memberikan senyuman dan sentuhan lembut di permukaan kepala. Ibu memang cerewet, meski itu pada hal-hal kecil, tapi omelannya membuat saya tumbuh sebagai anak yang dekat dengan keberaturan. Sifat suka berbenah dan jengkel melihat hal-hal yang kotor mungkin datang dari Ibu. Itu sebabnya ketika mengajar di kelas saya sangat selektif menjaga kenyamanan belajar.
Dua minggu pasca Ibu meninggal saya sempat lari dari rumah. Menjauh untuk sementara. Rumah yang telah ditempati Ibu sejak pertengahan 90-an. Rumah itu begitu memiliki nilai yang sentimental bagi saya. Tempat saya dimarahi dan didik menjadi anak yang mencoba tangguh pada cobaan. Secara ekonomi keadaan kami memang tidak mengkhawatirkan. Bisa dikatakan berada di tengah-tengah. Melimpah tidak, meski pernah terjepit, tapi lebih sering terpenuhi. Pendapatan pas-pasan Bapak memang bisa teratasi dengan mudah karena strategi Ibu mengatur kebutuhan dalam rumah cukup baik. Keran pemasukan hanya dari satu sumber. Sementara ada 6 kepala yang mesti diberi makan. Entah kenapa saya dan saudara saya yang lain itu sangat hobi mengkonsumsi Indomie dan telur. Bisa dibilang kami lebih senang merayakan hari dengan mi dan telur secara bergantian daripada makan ikan atau sayur. Hal tersebut berlangsung hingga hari ini malahan. Bahkan satu biji telur bisa dibagi empat untuk saya dan tiga orang adik ketika itu.
Saya kembali berpikir kenapa Ibu selalu hinggap di pikiran. Apakah ini tanda bahwa ia rutin mengawasi agar saya tidak pernah luput untuk menyelipkan namanya di dalam doa. Dalam Islam tentu yang dibutuhkan oleh orang yang sudah wafat hanya aliran doa. Sebagai penerang kuburnya dan bekal menuju ring satu di hadapan Tuhan. Ibu hadir sebagai pengingat bahwa berbakti itu tidak ada putusnya.
Terlepas kerinduan yang tak bisa lepas, ini menandakan ikatan yang sulit lepas antara Ibu-Anak dalam bingkai kasih. Meski ada di alam yang tidak sama. Saya tidak tahu, mungkin juga tidak mau tahu, apakah orang yang telah meninggal bisa melakukan interaksi dengan seseorang yang hidup. Semacam ingin menyampaikan pesan yang penting tapi dengan cara yang tidak menakutkan. Misalnya bertemu dalam mimpi.
Ibu adalah manifestasi kehidupan. Ia bisa dikatakan cerminan kita bagaimana melihat masa depan sebagai sesuatu yang terang atau gelap yang menyesatkan. Tergantung didikan yang diberikan di dalam rumah. Benar adanya bahwa Ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya. Ibu memang bukan manusia yang pandai menyusun kata dan membuatnya terangkai sebagai nasihat yang bisa anak-anaknya pegang sebagai kekuatan hidup. Ia justru menyampaikan amanah dalam bingkai omelan. Kami, anak-anaknya, harus berbuat salah lebih dulu. Kena hukum, lalu menerima santunan bahasa yang sebenarnya sulit kami terima ketika itu. Tapi sekarang justru menjadi penerang jalan. Sifat keterbukaan itu membuat kami sulit menerima kenyataan Ibu pergi sebelum kami bisa menunjukkan pencapaian besar.
Ibu mungkin sudah pergi sejak lima tahun lalu. Hanya saja masih ada yang tinggal, melekat, tidak luput dari lupa, dan hal-hal yang sulit diterangkan saat ini. Mungkin lain kali lagi.