Jangan Khawatir, Semua Ada Ujungnya
Berjarak dengan pasangan adalah hal yang paling menyebalkan. Rindu tertahan oleh angka ribuan kilometer. Ingin pulang, berat diongkos. Tidak pulang, rindu berat. Dipaksakan pulang, tentu berdampak signifikan pada urusan kebutuhan. Maklum, LDR-an dengan pasangan mau tidak mau harus menghidupi dua dapur yang berbeda. Bersama pasangan harus saling mengerti bahwa banyak hal yang tidak bisa dipaksakan. Dan lebih banyak lagi mesti dikorbankan.
Saya selalu bilang, jangan bersedih. Ini hanya sementara. Ada proyek besar yang akan kita eksekusi. Sementara tambang modalnya ada di tempat saya bekerja sekarang. Ini lebih mudah bagi kita di masa hadapan. Tidak perlu ragu. Semua butuh pengorbanan. Kompensasi yang akan kita terima juga nantinya bisa memuaskan. Apa lagi kita sudah punya anak. Tentu tuntutan kebutuhan domestik kita jauh lebih tinggi. Diharap maklum ya.
Untungnya pasangan saya bisa memahami. Meski dia juga rindu berat. Perempuan mana yang tidak nyaman perasaannya jika bertemu suami hanya setiap 6 bulan sekali. Tentu dadanya bergemuruh. Ia butuh bahu bersandar dan tentu aktivitas pillow talk tidak bisa dilakukan rutin. Telpon, chat, video call bukanlah penengah yang baik. Tetap saja ada yang kurang jika tidak bisa saling memeluk.
Saya termasuk laki-laki yang pantang menyebut rindu. Bukan tidak mau. Bukan juga gengsi. Hanya saja, menanam rindu mesti dirawat. Pupuknya adalah pertemuan. Pertemuan yang rutin tentu tidak sehat bagi neraca keuangan kami. Pun jika saya pulang, hanya bisa beberapa hari. Pekerjaaan saya di tanah rantau tidak bisa ditinggal seenaknya. Meminta pasangan yang berkunjung juga terasa mustahil. Dia juga punya aktivitas yang padat di Jogja. Apa lagi ada anak. Jika ia datang, saya mesti pulang menjemput. Saat balik, saya pun harus mengantar hingga ke rumah. Kami pernah merancang hal semacam itu. Tapi kalkulasinya terlihat besar. Sabar dan pasrah menjadi pilihan tepat.
Di pernikahan kita ini, sebaiknya berkorban waktu kita lakukan di awal-awal. Kata saya pada pasangan. Fondasi kita bangun kokoh dari jarak jauh. Selama komunikasi tidak tersumbat, saya yakin kita bisa survive. Mimpi kamu, mimpi saya adalah hal terpenting yang perlu dikejar. Kita sedang menuju ke sana. Bukannya kita sudah sepaham di awal, kan? Tentu tidak mudah. Akan ada banyak hal yang membuat kita goyah. Namun perlu selalu diingat tujuan awal kita.
Jangan kira mulut yang bungkam terhadap kata rindu berarti miskin perhatian. Kamu dan anak adalah top prioritas dalam berjuang. Ada hal yang mesti dilakukan sebelum besok tiba. Kita butuh persiapan yang matang. Kita perlu merancang agar tidak salah arah. Jangan risau pada hal-hal yang sebenarnya terbentuk karena pikiran kita sendiri. Yakin saja. Selama kita bertarung habis-habisan, tentu hasil akan berpihak di sisi kita. Jangan lemah semangat. Jika penat, rehat sejanak. Udah enak, lanjut lagi.
Sebentar lagi saya akan pamit pada kota yang sudah saya diami selama tiga tahun terakhir. Saya memilih pulang dan tidak menuntut apa-apa. Terlebih lagi, dua-tiga mimpi kita berhasil terwujud berkat kota ini. Selesai di sini bukan berarti berhenti. Kita sambung lagi di tempat lain. Sesuai tekad kita pada mimpi.
Kamu sudah siap?