kemoterapi, radang pembuluh darah, dan cerita tentang kematian
radang pembuluh darah (RPD) adalah vonis dokter sekitar 14 bulan lalu buat ibuk samitra. penyebab utamanya sampai sekarang belum terdeteksi pasti. satu yang jelas ia terkena autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat. lelah berkepanjangan, nyeri sendi, demam yang sering adalah gejala umumnya.
di awal-awal pemeriksaan di sebuah rumah sakit swasta di kota jogja, dokter tidak bisa banyak berspekulasi. sebab RPD adalah penyakit langka terjadi. dokter memberi tahu risiko apa saja yang akan terjadi jika mengabaikan terlalu lama. paling fatal adalah nyawa bisa berusia pendek.
hanya kemoterapi solusi dokter. itu satu-satunya jalan paling ampuh yang mesti diambil. setelah 12 kali dilakukan kemoterapi, dokter memberi kenyataan pahit. dosis harus ditingkatkan. yang awalnya hanya sebulan sekali menjadi dua kali dalam sebulan. ibuk samitra tidak sanggup memikul tersiksanya dikemo. rambut rontok, badan semakin remuk, ruam mulai terlihat di permukaan kulit. dokter pun menyarankan ikhtiar lain dengan berobat ke malaysia.
rembukkan keluarga hanya berlangsung kurang dari dua jam. disepakati ibuk samitra harus berangkat ke kuala lumpur (KL). hasil pemeriksaan terakhir di jogja sebelum kami bergerak ke kuala lumpur; aliran darah ke jaringan mata, jantung, dan otak mulai melambat; dari sudut pandang medis, ibuk samitra hanya punya waktu 3–5 bulan buat bertahan hidup. selama ini proses kemoterapi hanya menghambat agar radang tidak membesar dan pecah. bukan menyembuhkan. jika pecah semuanya selesai. tipis peluangnya buat tertolong.
buta permanen adalah dampak terdekat yang bakal dipikul ibuk samitra jika tidak segera diobati. 4–5 bulan terakhir, saat bangun tidur, ia butuh 5–10 menit -ada beberapa momen bisa sampai 30 menitan- agar penglihatannya bisa sempurna. awal buka mata pasti gelap total. hal tersebut melelehkan air matanya. ia tidak sanggup kehilangan penglihatan.
jalan sebentar kaki sudah bengkak. dada sering berdegup kencang. ia rawan lelah meski jarak tempuh kurang dari 100 meter. waktunya banyak dipakai buat tidur. sebagai seorang ibu pasti ia masih ingin terus melanjutkan hidup karena samitra masih butuh dirinya.
saran dokter kami terima sebagai ikhtiar lanjutan. kuala lumpur bagi saya seperti menelusuri kota jojga. moda transportasi dan titik tujuan sudah khatam di kepala. tempat makan yang cocok di lidah dan kantong. bahasa? bukan jadi soal. bahasa melayu masih bisa tuturkan. bahasa inggris pun tidak jadi soal.
di ramadan ke-11 kami bertolak ke kuala lumpur tanpa tahu harus pulang kapan. sembuh atau tidak belum kami tahu hasilnya.
kami hanya dihadapkan dua pilihan, berangkat atau berpasrah pada keadaan. dalam waktu 8 jam kami membereskan segala sesuatunya. utamanya urusan pembiayaan. saya tahu persiapan kami tidak akan tertutupi karena waktunya cukup ringkas untuk menyiapkan semuanya dengan sempurna. kami percaya jika sudah bergerak pasti pertolongan akan mudah berdatangan.
saya dan ibuk samitra pamit ke kepala sekolah masing-masing. kami mengutarakan semuanya dengan gamblang, kami berangkat tanpa tahu kapan akan kembali. sisa kegiatan di bulan ramadan tidak bisa kami ikuti sampai selesai. untungnya, pimpinan kami punya rasa simpati yang begitu tebal sehingga tidak banyak pertanyaan kami segera diminta pulang buat persiapan berangkat.
samitra adalah perkara lain yang mesti diputuskan begitu kami sampai di rumah. keputusan membawa samitra ke KL baru kami sepakati saat packing barang bawaan. sebelumnya kami memang mau samitra di rumah saja. berpergian kali ini jauh, bakal repot, dan bukan agenda bervakansi. namun, ibuk samitra mengubah rencananya. ia tak mau pisah lama-lama dengan samitra. khawatir itu malah menjadi beban pikiran saat berobat di KL. saya mengikuti saja karena ia yang lebih paham dirinya sendiri. dan keputusan itu memang tepat. samitra seperti menjadi penawar buat sakitnya.
berangkat ke KL adalah tindakan impulsif. ini baru pertama kalinya saya berangkat jauh harus dengan persiapan minim. jam 11 pagi diputuskan, sore ke stasiun kereta, lepas magrib berangkat ke surabaya, dini hari pesawat pertama dari juanda langsung ke KLIA. bahkan tiket pesawat saya beli saat di stasiun tugu jogja.
untungnya banyak yang menolong hingga perjalanan kami bisa lancar. di surabaya kami dijemput pakde yang secara sukarela merelawakan waktunya mengantar kami dari stasiun kereta ke bandara. yang saya takutkan cuma ibuk samitra tumbang dan butuh perawatan medis. tapi sampai di KL malah saya yang tumbang. dua hari pertama demam tinggi dan lemasnya minta ampun. tiba di KL jumat menjelang siang, tapi sejak selasa jam tidur saya sudah berkurang karena masih mengurus ibuk samitra di rumah sakit jogja.
tubuh saya kurang kondusif. ibuk samitra juga butuh rehat setelah perjalanan panjang. samitra apa lagi. sore baru kami tiba di penginapan dan langsung istrahat.
kami baru meluncur ke gleneagles hospital di sabtu pagi. cuma pagi itu belum boleh mengambil tindakan apa-apa. tekanan darah ibuk samitra belum normal. ia masih diminta buat istrahat penuh hingga senin lusa.
untuk meringkas waktu, kami naik grab menuju rumah sakit. sebelum pukul 9 kami sudah duduk manis di ruang tunggu. saya yang maju mengurus urusan administrasi. ibuk samitra tidak pede buat bicara langsung dengan petugas yang ada karena kendala bahasa. ia takut salah respon karena tidak paham. semuanya berlangsung cepat dan mudah. ibuk samitra dibawa bertemu dokter. saya dan samitra hanya menunggu di luar.
sudah lima belas menit jantung ibuk samitra berhenti berdetak. di depan saya sudah ada dokter yang menyodorkan surat persetujuan pemberhentian tindakan dan pelepasan alat-alat medis yang menopang tubuhnya. saya tidak tahu mesti berbuat apa.
ada tiga kematian yang sangat melekat di kepala saya dan sampai hari ini tidak pernah pudar.
kepergian pertama adalah ibu saya sendiri sekitar sepuluh tahun lalu di ruangan kelas II di sebuah rumah sakit di jantung kota makassar. caranya meninggal seperti kebanyakan pasien di rumah sakit. berbulan-bulan keluar dan masuk rumah sakit karena penyakit yang sembuh dan kambuh. ibu saya kalah oleh kanker payudara yang mendekap di tubuhnya selama empat tahun. dari medis hingga non-medis sudah ditempuhnya.
kematian menjemputnya di senin pagi yang hangat. ia pergi tanpa mengucapkan kata-kata perpisahan. kami, saya dan adik, yang menungguinya selama berhari-hari dibuat terkejut saat ibu tak merespon lagi. napasnya habis. air mata kami meluncur tak karuan. kami kehilangan benteng kokoh itu. ia wafat sebelum ia melihat salah satu dari anak-anaknya menikah dan berketurunan. ibu memang pernah bilang ingin punya cucu. seperti saudara-saudaranya yang lain saat anak-anaknya tumbuh dewasa, ada cucu-cucu lucu yang bisa diajak bermain.
kematian kedua adalah seseorang yang tidak saya kenal. perempuan tersebut adalah salah satu pekerja imigran yang malang nasibnya. ia diperlakukan buruk oleh majikan dan haknya sebagai pekerja tak dibayar. entah bagaimana kronologisnya ia bisa berakhir di shelter kantor kedutaan. ia menunggu giliran untuk dipulangkan ke kampung halamannya.
kekerasan fisik dan mental sudah lama ia derita selama bekerja. hal itu menganggu kondisi kejiwaannya. tiba-tiba ia bisa berteriak kencang dan mengancam orang-orang yang ada di dekatnya tanpa sebab. sore itu ia nekat keluar dari shelter karena melihat celah pintu yang terbuka. ia berlari dan bersembunyi. teman-temannya yang lain mengejar, saya ikut mengejar tepat di belakangnya. ia masuk ke ruangan yang isinya barang-barang tidak terpakai. ia berhenti di tengah-tengah ruangan dan ambruk pas di depan saya. busa putih mulai keluar dari dalam mulutnya. tubuhnya bergetar hebat. ia kejang-kejang. seketika itu nyawanya juga pergi. ia wafat tanpa bisa bertemu kerabatnya. tak ada yang berani menyentuh sampai petugas medis tiba di lokasi.
saya berusaha tenang saat dokter membujuk persetujuan saya buat melepas kepergian ibuk samitra. secara medis ibuk samitra sudah dianggap meninggal. agar lepas dari tuntutan, pihak rumah sakit butuh kerelaan dari saya agar proses penyelamatan tidak perlu dilanjutkan. dua kematian yang pernah saya terjadi di depan saya sebelumnya adalah pengalaman tentang ketegaran dan usaha untuk melepaskan.
mata saya tertuju ke samitra yang duduk di sofa dan masih memeluk boneka spiderman-nya. saya mesti cepat merespon. memberi tahu keluarga di rumah dan berdiskusi tentu memakan waktu. saya juga sudah tahu apa reaksi mereka jika kabar ini sampai ke telinga. membawa pulang jenasah bukan bagian dari rencana kami saat memutuskan berangkat berobat ke malaysia. saya tetap pada keyakinan jika tuhan akan memberikan kesempatan sembuh.
kejutan datang. kepanikan di dalam ruang pembedahan berubah menjadi harapan. detak jantung ibuk samitra kembali. keajaiban, mukjizat, kebangkitan, atau apalah istilahnya yang jelas ibuk samitra mengejutkan semua dokter yang ada di ruangan. saya sejenak membeku dan lekas kelegaan menjalar ke semua badan. kemudian, saya duduk di dekat samitra lalu mengangkatnya duduk di pangkuan dan ia saya dekap dari belakang.
“inshaa allah, kita bakal pulang bareng ibuk, sam.” kata saya pada samitra.
”sebelum pulang kita beli coki-coki yang ada kartu pokemonnya dulu ya, yah.” samitra merespon.
beberapa hari setelahnya ibuk samitra bercerita saat ia tidak sadarkan diri, ia berada di sebuah tempat yang amat luas dan sepertinya tidak ada ujung. tempat itu meneduhkan, tenang, damai rasanya. beberapa meter di depannya ia melihat orang-orang yang dia kenal wajahnya. mereka adalah orang-orang yang sudah lama wafat. orang-orang yang pernah ia temui secara langsung ataupun tidak. tidak ada komunikasi. hanya senyum lebar dan gerakan mata yang seperti memberi isyarat. tatapan-tatapan itu seolah-olah meminta untuk pulang. tempatmu bukan di sini.
dari arah belakang, ibuk samitra mendengar suara. ia hapal suara itu. suara anak kecil yang tiap hari menemaninya di rumah. bersama suara itu juga ada cahaya yang lebih terang dari cahaya yang ada di sekitar tempatnya berdiri.
“bu, ayo pulang, bu. kita pulang ke rumah.”
itu suara samitra. ia tahu. tapi wujudnya tidak ada. hanya suara. sumber suara itu hanya ada cahaya yang terangnya tidak menyilaukan mata. dan ibuk samitra tahu itu adalah tempat pulang yang sebenarnya. bukan ke arah orang-orang yang ada di depannya. ia berbalik dan mencari suara itu.
napas ibuk samitra kembali. jantungnya memompa darah lagi. berita baiknya saya tidak perlu menandatangani surat pelepasan alat medis. berita tidak pastinya, ibuk samitra belum tentu bisa selamat. ini hanya keajaiban kecil.
saya, samitra, dan ibuk menghabiskan waktu 26 hari di malaysia. keluarga di jogja dan sulawesi mendoakan dari jauh. keluarga saya di johor, saya enggan menyebut mereka sebagai teman karena kedekatan kami sudah sangat keluarga, memberikan dukungan moril dan bantuan apa saja secara langsung. mereka yang selalu menanyakan hal apa yang kami butuhkan. jika ke mana-mana tinggal bilang pasti akan diantarkan.
ibuk samitra sebenarnya belum mengantongi izin pulang secara penuh karena kondisinya masih belum stabil. apa lagi perjalanan udara yang tekanan udaranya bisa berubah-ubah dan bisa berdampak fatal di bekas pembedahannya. namun, kami harus tetap pulang karena ada orang-orang di rumah yang menunggu dan pekerjaan kami juga sebentar lagi akan dimulai.
dokter dengan segala kehati-hatiannya dan asupan obatnya merestui kami pulang. syaratnya sangat panjang. pantangan yang mesti dipatuhi juga harus benar-benar dilaksanakan.
kamis pagi setelah matahari terbit. kami meninggalkan kuala lumpur dengan rasa syukur. semuanya setengah selesai karena masih butuh waktu 5 bulan buat memantau kondisi ibuk samitra. semuanya cukup dilakukan di rumah sakit di kota jogja.
jogja 2024