om selayar
Sore yang sebentar lagi rampung. Aku duduk di ujung dermaga kampung Folley. Anak-anak yang sedari tadi memancing sudah berhamburan pulang. Mereka akan bersiap-siap menuju gereja. Malam ini ada ibadah. Telat sedikit tiba di rumah mereka akan kena omel dari orang tua.
“Om, tak ke gereja, kah?”
“Berangkat toh. Tunggu matahari habis dulu baru bergerak.”
Lelaki di hadapanku ini selalu kupanggil Om Selayar. Jika taksirku tak meleset usianya lebih dari seperdua abad. Tidak pernah kutanyakan pastinya. Hanya permainan angka di dalam pikiranku. Anaknya saja, muridku di sekolah, sudah kelas 1 SMA. Itu yang menjadi dasar kenapa aku berani memasang angka lebih dari itu. Kerutan di kening dan dari ceritanya yang beragam, pengalaman hidup sudah tumpah-tumpah jika bisa ditampung di dalam ember.
Aku dan Om Selayar akrab sejak kedatanganku di kampung ini 9 bulan lalu. Asal kami sama, Sulawesi Selatan. Hanya saja aku di Gowa dan kampung halamannya di desa Appatanah, Selayar. Aku tahu Selayar. Sebuah kabupaten yang merupakan pulau tersendiri. Punya daya tarik kuat bagi para penikmat wisata pantai dan bawah laut.
“Saya, pak Guru,” kata Om Selayar suatu hari. “Itu sudah meninggalkan Selayar sebelum usia 17 tahun. Saya sekolah hanya sampai SMP. Tak minat lanjut sekolah. Keluarga miskin. Cari uang satu-satunya cara untuk bertahan hidup. Bukan sekolah.” Matanya memandang laut yang tenang. Rokok yang terjepit antara telunjuk dan jari tengahnya tersisa beberapa isap lagi.
Om Selayar adalah manusia tangguh. Setengah umurnya habis di atas dan bawah laut. Lahir dan tumbuh remaja di daerah pesisir membuatnya akrab dengan air garam. Dididik oleh laut agar alergi dengan rasa takut. Semua jenis ombak disebutnya kawan.
“Semua jenis ombak pernah saya hadapi. Kecuali tsunami. Belum pernah ketemu.” Candanya sambil ketawa lepas. Beberapa giginya sudah tanggal. Habis dicahbut usia.
Transisi masa kecil ke remaja Om Selayar khatam di laut. Kebanyakan mencari ikan. Sisanya bersenang-senang. Tangkapannya dijadikan uang. Dijual ke pasar atau rumah ke rumah. Kemiskinan membuatnya bergantung hidup dari alam.
Lulus SMP, Om Selayar diajak ke daerah Lombok oleh tetangganya untuk berburu mutiara di laut dalam. Upah yang tinggi menjadi daya tarik. Setalah mendapat restu merantau dari keluarga, Om Selayar memulai hidupnya sebagai pemburu mutiara. Ia berlayar hingga jauh.
Muda, perkasa, tak ciut nyali membuat Om Selayar disegani rekan-rekan seprofesinya. Pelaut Makassar yang ulung di lautan apapun bukan berita setengah-setengah. Seminggu bisa 3–4 kali Om Selayar turun ke dasar laut. Bertarung dengan modal keberanian sebagai senjata utama, satu nyawa, tali, dan kompresor pemasok udara selama di dalam laut.
Setiap berangkat ke lokasi pencarian mutiara, Om Selayar berangkat dengan kapal jolloro bersama empat rekan setimnya. Pencarian mutiara ini memang untung-untungan. Sebab medan pencarian bukan penangkaran sehingga tidak terprediksi mutiara seperti apa yang akan ditemukan nantinya. Basah dulu, dapat atau tidak itu persoalan lain. Seperti menebar pukat di hutan, tak tahu apakah babi atau harimau yang akan kena sial.
Bertahun-tahun Om Selayar menjalani pekerjaan berbahaya itu. Tentu celaka mengintai di setiap aksinya. Om Selayar memang paham risiko menyelam dengan peralatan yang tidak memenuhi standar. Hingga suatu hari di usia 40 tahun awal, Om Selayar mengalami kecelakaan saat berada di dasar laut. Tiba-tiba tekanan udara dari kompresor mendadak berubah. Serangan tanpa aba-aba itu diperparah dengan kakinya ikut keram. Dia tidak bisa bergerak sebebas maunya. Dengan sisa-sisa tenaga, tali yang terikat di badannya ditarik-tarik penanda jika dirinya sedang dalam situasi bahaya dan harus segera ditarik ke atas. Cekatan orang-orang di atas kapal menariknya tepat waktu. Hidup Om Selayar masih bisa dilanjutkan.
Kejadian itu memukul mundur Om Selayar dari laut. Kaki kirinya cacat seumur hidup. Om Selayar pincang. Laut sudah menjadi saudara tak sekandungnya. Ia tak bisa hidup berjauhan dengan laut. Meski selesai berkarir sebagai penyelam mutiara, Om Selayar tidak menyerah pada laut. Ia mencintai laut tanpa batas. Walau rejekinya dimatikan oleh laut.
Tak punya peluang lagi di Lombok, Om Selayar bergeser Papua. Di sana ia berharap nasib mampu menyelamatkan hidupnya. Bekerja apapun asalkan tetap bisa makan. Pantang pulang ke Selayar sebagai orang gagal. Di sana ia tak mau menanggung rasa kasihan. Menderita di tanah rantau lebih terhormat daripada pulang menumpang makan.
Om Selayar tiba di Kofiau sekitar 17 tahun lalu.
“Kisus, iparku, yang bawa Om sampai di sini. Kitorang ketemu di Sorong. Cerita panjang lebar sampai Om sepakat masuk Kofiau. Sampai hari ini,” Om Selayar menghamburkan asap dari dalam mulutnya.
“Terus bagaimana ceritanya Om bisa kawin dengan Mace?” Tanyaku.
“Itu karena kontribusi Kisus. Kalau Om mau menikah dengan adiknya, Om dikasih tempat tinggal dan kebun kecil untuk diolah. Itulah rumah Om sekarang. Pemberian Kisus. Dua tahun setelah menikah Armando lahir.”
“Om tak pernah pulang ke Selayar?” Rasa penasaranku mendidih.
“Empat tahun lalu Om sempat ke Appatanah. Itu pertama kalinya Om kembali ke sana setelah menikah dengan Mace. Sama Armando juga. Mace tra ikut. Takut naik pesawat.”
“Kenapa bisa selama itu baru kembali?”
“Semua keluarga di Appatanah beramai-ramai tidak mau kenal Om lagi. Om tidak hanya menikah tanpa mengabari mereka, tapi Om juga pindah agama. Dulu pertama datang di Kofiau, Om sendiri yang bukan Nasrani. Karena menikah dengan Mace, Om harus ikut upacara pernikahan Nasrani. Sekalianlah Om pindah agama biar sama dengan orang-orang di sini. Tidak ada kecurigaan jika seiman. Lagi pula, Om dan Tuhan yang lama tidak begitu akrab. Kami berjarak. Sekadar tahu saja, tidak mengamalkan perintah. Keluarga di kampung tidak terima Om tukar agama. Bukan masalah kawinnya. Sebab itu Om tidak berani pulang. Percumah toh. Barulah ketika Amma’ di kampung meninggal, Om dikabari sama keluarga dan perlahan-lahan rasa benci itu pudar dan mereka menerima kembali.”
“Namanya hidup, Om. Bisa terjadi macam-macam hal.” Kataku untuk menghargai keputusan hidupnya, “Terus sampai kapan Om di sini?” Lanjutku lagi.
“Sampai mati, toh.” Jawabnya penuh keyakinan.
Nasib mungkin mengaduk-aduk perasaan Om Selayar. Masa lalu yang keras. Masa tua yang siap dihabiskan di tanah rantau. Kampung halaman tidak lagi menyentuh hatinya untuk pulang dan tinggal. Petualangannya mungkin terlalu cepat dimulai membuatnya pendek akal. Mentalnya belumlah terbentuk matang. Saat terpuruk tidak mudah bangkit. Butuh sokongan eksternal untuk mengembalikan jiwa petarungnya.
Om Selayar memandangi laut tenang di hadapan kami. Dia berhenti berbicara agak lama. Jeda itu dia manfaatkan untuk berpikir sesuatu. Mungkin merenung tepatnya. Sesuatu yang tidak untuk dibagikan kepadaku. Matanya seperti menuliskan permintaan yang sederhana. Jika waktunya selesai di Kofiau, ia ingin Tuhan bisa membawanya dengan perasaan damai.
“Pak Guru, sa mo siap-siap berangkat gereja.” Pria tambun itu bangkit dari duduknya. Berjalan sehati-hati mungkin. Menghindari papan dermaga yang keropos di beberapa posisi.
Saat Om Selayar sudah ada di daratan aku ikut berdiri. Aku juga punya Tuhan yang sudah menunggu. Meskipun ibadah dikerjakan di rumah. Bukankah Tuhan ada di mana-mana?