Pulang dan Pulang dari Tere dan Leila
Bulan September ini saya merampungkan dua novel dari dua penulis berbeda tapi dengan judul yang sama: Pulang. Pulang versi Tere Liye dan Pulang versi Leila S. Chudori.
Bujang atau Si Babi Hutan adalah anak keturunan Ulama dari sang Ibu dan Parewang dari darah bapak. Besar di pinggir hutan di Sumatera. Tumbuh hingga usia 15 tahun dari didikan keras Samad (Bapak Bujang) yang mantan tukang pukul dan Midah (Ibu Bujang) yang lemah lembut yang diam-diam mengajari Bujang ilmu agama dan berhitung.
Tauke Besar datang menjemput Bujang untuk dijadikan anak angkat dan diproyeksikan menjadi tukang pukul nomor 1 Keluarga Tong (sebutan komplotan Tauke Besar). Bapak Tauke Besar adalah bos Samad semasa dirinya menjadi tangan kanan setia bos Keluarga Tong. Ada sebuah peristiwa penting yang membuat Samad mundur dari dunia hitam.
Setelah Bujang dibawa ke kota, tak disangka ternyata otaknya cemerlang. Bujang pun di arahkan untuk sekolah dan menjadi orang pertama di Keluarga Tong yang bisa sekolah tinggi. Selain itu Bujang juga dilatih menjadi tukang pukul dengan segala macam skill berkelahi. Mulai pertarungan tangan kosong, menggunakan pedang, dan senjata api semuanya dikuasai.
Klimaks dari cerita adalah pengkhianatan dari dalam Keluarga Tong. Salah satu orang kepercayaan Tauke Besar ternyata berkhianat yang menyebabkan sang Bos besar tumbang dan mati. Bujang tampil sebagai protagonis yang menyelesaikan pengkhianatan tersebut.
Saya butuh waktu 10 tahun untuk membaca karya Tere Liye lagi. Sebelum Pulang saya membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar beberapa bulan lalu. Mundur sedekade lalu saya menamatkan novel Rindu penuh dengan kekecewaan. Padahal sebelum Rindu saya membaca 4–5 judul karya Tere Liye. Selama itu saya menolak berhadapan dengan karya Tere Liye meski beberapa teman merekomendasikan. Sampai di fase di mana Ernest Prakasa, stand up comedian dan sutradara, memajang Teruslah Bodoh Jangan Pintar dan Pulang di-feed IG-nya. Ia merekomendasikan untuk dibaca. Di situlah saya tergerak untuk berburu dua novel tersebut.
Cerita Pulang menurut saya sama serunya dengan membaca Teruslah Bodoh Jangan Pintar. Meski di Pulang aksi perkelahian dan tembak-tembakkan jauh lebih sering. Novel setebal 392 halaman itu saya selesaikan 3 hari saja. Bahkan dua hari terakhir saya mesti melanggar jam tidur saya yang mestinya sebelum pukul 10 saya sudah harus terlelap. Saya sampai membaca hingga pukul 12 malam.
Pulang versi Leila S. Chudori terasa lebih nyata karena memang mengambil time line masa kelam Indonesia di tahun 1960 hingga tumbangnya Orde Baru. Dan satu yang menarik buat saya dan menjadi pengetahuan baru adalah Gerakan Mei 1968 di Perancis. Saat mahasiswa Sorbonne turun ke jalan memprotes pemerintah.
Dimas Suryo berakhir di Paris setelah bertualang ke beberapa negara mencari perlindungan. Ia tidak bisa pulang ke Indonesia karena dicap terafiliasi dengan PKI. Sudut pandang lain juga diceritakan lewat penuturan Lintang Utara, anak Dimas Suryo hasil pernikahannya dengan perempuan Perancis.
Lintang yang seorang mahasiswa Sorbonne University harus menyelesaikan tugas akhirnya membuat film dokumentar tentang keluarga eks-tapol di Indonesia. Negara ayahnya yang hanya ia tahu dari buku dan cerita-cerita ayahnya dan kawan-kawan ayahnya.
Sekian dan terima kasih.