tiga kematian

rahmat.suardi
4 min readMay 16, 2024
image: dokumentasi pribadi

sudah lima belas menit jantung ibuk samitra berhenti berdetak. di depan saya sudah ada dokter yang menyodorkan surat persetujuan pemberhentian tindakan dan pelepasan alat-alat medis yang menopang tubuhnya. saya tidak tahu mesti berbuat apa.

***

ada tiga kematian yang sangat melekat di kepala saya dan sampai hari ini tidak pernah pudar.

kepergian pertama adalah ibu saya sendiri sekitar sepuluh tahun lalu di ruangan kelas ii di sebuah rumah sakit di jantung kota makassar. caranya meninggal seperti kebanyakan pasien di rumah sakit. berbulan-bulan keluar dan masuk rumah sakit karena penyakit yang sembuh dan kambuh. ibu saya kalah oleh kanker payudara yang mendekap di tubuhnya selama empat tahun. dari medis hingga non-medis sudah ditempuhnya hanya untuk bugar dan berumur sampai renta.

kematian menjemputnya di senin pagi yang hangat. ia pergi tanpa mengucapkan kata-kata perpisahan. kami, saya dan adik, yang menungguinya selama berhari-hari dibuat terkejut saat ibu tak merespon lagi. napasnya habis. air mata kami meluncur tak karuan. kami kehilangan benteng kokoh itu. ia wafat sebelum ia melihat salah satu dari anak-anaknya menikah dan berketurunan. ibu memang pernah bilang ingin punya cucu. seperti saudara-saudaranya yang lain saat anak-anaknya tumbuh dewasa, ada cucu-cucu lucu yang bisa diajak bermain.

***

kematian kedua adalah seseorang yang tidak saya kenal. perempuan tersebut adalah salah satu pekerja imigran yang malang nasibnya. ia diperlakukan buruk oleh majikan dan haknya sebagai pekerja tak dibayar. entah bagaimana kronologisnya ia bisa berakhir di shelter kantor kedutaan. ia menunggu giliran untuk dipulangkan ke kampung halamannya.

kekerasan fisik dan mental sudah lama ia derita selama bekerja. hal itu menganggu kondisi kejiwaannya. tiba-tiba ia bisa berteriak kencang dan mengancam orang-orang yang ada di dekatnya tanpa sebab. sore itu ia nekat keluar dari shelter karena melihat celah pintu yang terbuka. ia berlari dan bersembunyi. teman-temannya yang lain mengejar, saya ikut mengejar tepat di belakangnya. ia masuk ke ruangan yang isinya barang-barang tidak terpakai. ia berhenti di tengah-tengah ruangan dan ambruk pas di depan saya. busa putih mulai keluar dari dalam mulutnya. tubuhnya bergetar hebat. ia kejang-kejang. seketika itu nyawanya juga pergi. ia wafat tanpa bisa bertemu kerabatnya. tak ada yang berani menyentuh sampai petugas medis tiba di lokasi.

***

saya berusaha tenang saat dokter membujuk persetujuan saya buat melepas kepergian ibuk samitra. secara medis ibuk samitra sudah dianggap meninggal. agar lepas dari tuntutan, pihak rumah sakit butuh kerelaan dari saya agar proses penyelamatan tidak perlu dilanjutkan. dua kematian yang pernah saya terjadi di depan saya sebelumnya adalah pengalaman tentang ketegaran dan usaha untuk melepaskan.

mata saya tertuju ke samitra yang duduk di sofa dan masih memeluk boneka spiderman-nya. saya mesti cepat merespon. memberi tahu keluarga di rumah dan berdiskusi tentu memakan waktu. saya juga sudah tahu apa reaksi mereka jika kabar ini sampai ke telinga. membawa pulang jenasah bukan bagian dari rencana kami saat memutuskan berangkat berobat ke malaysia. saya tetap pada keyakinan jika tuhan akan memberikan kesempatan sembuh.

kejutan datang. kepanikan di dalam ruang pembedahan berubah menjadi harapan. detak jantung ibuk samitra kembali. keajaiban, mukjizat, kebangkitan, atau apalah istilahnya yang jelas ibuk samitra mengejutkan semua dokter yang ada di ruangan. saya sejenak membeku dan lekas kelegaan menjalar ke semua badan. kemudian, saya duduk di dekat samitra lalu mengangkatnya duduk di pangkuan dan ia saya dekap dari belakang.

“inshaa allah, kita bakal pulang bareng ibuk, sam.” kata saya pada samitra.

sebelum pulang kita beli coki-coki yang ada kartu pokemonnya dulu ya, yah.” samitra merespon.

beberapa hari setelahnya ibuk samitra bercerita saat ia tidak sadarkan diri, ia berada di sebuah tempat yang amat luas dan sepertinya tidak ada ujung. tempat itu meneduhkan, tenang, damai rasanya. beberapa meter di depannya ia melihat orang-orang yang dia kenal wajahnya. mereka adalah orang-orang yang sudah lama wafat. orang-orang yang pernah ia temui secara langsung ataupun tidak. tidak ada komunikasi. hanya senyum lebar dan gerakan mata yang seperti memberi isyarat. tatapan-tatapan itu seolah-olah meminta untuk pulang. tempatmu bukan di sini.

dari arah belakang, ibuk samitra mendengar suara. ia hapal suara itu. suara anak kecil yang tiap hari menemaninya di rumah. bersama suara itu juga ada cahaya yang lebih terang dari cahaya yang ada di sekitar tempatnya berdiri.

“bu, ayo pulang, bu. kita pulang ke rumah.”

ia hapal jika itu suara samitra, tapi wujudnya tidak ada. di sumber suara itu hanya ada cahaya yang terangnya tidak menyilaukan mata. dan ibuk samitra tahu itu adalah tempat pulang yang sebenarnya. bukan ke arah orang-orang yang ada di depannya. ia berbalik dan mencari suara itu.

jogja, mei 2024.

--

--