Tugu dan Lima Belas Tahun Setelahnya

rahmat.suardi
9 min readJan 24, 2025

--

dokumentasi pribadi

Setelah 15 tahun aku baru bisa merasakan lega. Tanda tanya yang menggantung. Perasaan yang tidak tahu mesti diapakan. Pertanyaan-pertanyaan usang datang dari orang-orang yang tidak punya pemahaman. Aku yang selama ini menjalani hidup sebagai upaya membayar kekalahan semata. Harapanku seperti dihapus di buku masa depan. Di sana tidak ada lagi catatan-catatan buatku. Seperti ia sudah hilang 15 tahun -Iya, selama itu aku menunggu datangnya jawaban hari ini.

Januari 2007

Seminggu lalu resmi aku bergelar Sarjana Ekonomi. Itu mimpi orang tuaku. Terwujud setelah empat tahun aku menghabiskan waktu di Jogja. Jika didesak apa yang aku inginkan, tentu saja aku ingin menggeluti dunia Sastra. Ibuku menentang keras jika aku nekad mengambil jurusan itu.

“Mau jadi apa kalau kau kuliah di jurusan tidak jelas seperti itu?” Respon Ibu saat aku mengajukan diri untuk hijrah ke Jogja setelah lulus SMA.

Aku cukup beruntung bisa kuliah di Jogja. Iklim buku dan segala bentuk diskusinya mudah ditemui. Setidaknya hasratku kepada dunia Sastra bisa terpenuhi. Banyak baca buku bagus bahkan bertemu dengan nama-nama penulis yang tulisannya sering muncul di kolom cerpen koran-koran besar.

Di kota ini aku juga jatuh cinta. Pertama dan terakhir. Aku belum pernah merasakan jatuh hati dengan cara tiba-tiba. Tidak terjadi di pandangan pertama tapi dipercakapan pertama. Di SMA memang aku pernah suka dengan kakak kelas, hanya sebatas itu. Tidak ada keberanian untuk mendekat apa lagi untuk bilang terus terang. Begitu dia lulus, rasa suka itu juga ikut tamat.

Namanya Citra. Aku tahu saat kedua kali melihatnya di salah satu diskusi buku yang kami hadiri bersama. Beda dengan pertemuan pertama, saat ini dia agresif bertanya ke penulis yang bukunya sedang dibedah. Novel yang mengambil latar pasca kejadian 65. Sepertinya cukup menguras perhatiannya. Suaranya menggema di seluruh ruangan. Banyak mata yang memandangnya. Sudut pandangnya pada tokoh perempuan di novel itu benar-benar menyita pikirannya.

Dia memperkenalkan diri dengan menyebut jurusan dan kampusnya. Astaga! Dia ternyata anak Sastra. Kami berbeda kampus. Parasnya tidak menyita perhatian banyak pasang mata. Jika harus mencari yang rupawan, telunjuk akan mengarah ke dua atau tiga perempuan lain. Namun, bukan itu yang memunculkan rasa penasaranku. Pertanyaannya yang menggeser posisi duduk si Penulis yang awalnya bersandar di punggung kursi sudah mencerminkan kecerdasaan. Apa lagi setelah pertanyaannya terjawab, dia merasa kurang puas dan memberi pertanyaan susulan. 10 menit habis hanya untuk mendengar si Penulis dan Citra saling menanggapi.

Dia ramah ke setiap orang. Senyumnya murah sekali diberikan kepada siapa saja yang menyapa. Hal itu jadi acuanku untuk dekat-dekat. Beberapa pekan setelah diskusi buku terakhir, tidak sengaja aku melihatnya kembali di sebuah toko buku. Tanpa ragu aku mendekat. Memperkenalkan diri dan melempar senyum yang paling bagus aku punya.

“Mbak Citra!” Seruku yang membuatnya menoleh.

Dia diam. Mencoba menerka siapa gerangan laki-laki yang memanggil namanya. Dia kehilangan petunjuk. Kebingungan.

“Aku Amri. Tiga minggu lalu kita sama-sama ada di bedah buku di kampusku, UGM.” Kutarik lagi ingatannya.

Kali ini dia tersenyum. Tangannya mengulur duluan. Sangat akrab.

“Citra.” Iya menyebut nama yang sudah aku tahu.

Obrolan pertama kami selesai setelah membayar buku di depan kasir.

Berikutnya banyak janji. Puluhan pertemuan. Kami sering datang ke acara peluncuran buku atau ke pameran-pameran buku murah. Sebagai anak sastra Citra memang sangat lahap dengan bacaan bertema sejarah dan roman percintaan.

“Favoritku Bumi Manusia punya Pak Pram. Aku juga senang dengan tulisan Buya Hamka yang Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. ” Katanya suatu hari.

Sebagai laki-laki, aku lebih banyak memasang telinga. Referensi bacaannya sungguh membuatku terheran-heran. Aku banyak membaca buku bagus atas rekomendasinya. Jika dia punya bukunya, secara sukarela dia meminjamkan. Sesekali aku beli sendiri untuk dikoleksi juga.

Kedekatan kami tidak ditandai dengan pernyataan perasaan. Bilang suka secara terus terang tidak pernah ada sama sekali. Kami sama-sama paham bahwa ada suka yang mekar di dada kami. Banyaknya waktu yang kami habiskan bersama di luar kesibukan urusan kampus.

Kami cukup sering ke pantai yang ada di Gunungkidul atau yang dekat-dekat saja di area Bantul. Suara debur ombak adalah candu. Pasir halus menempel di sela-sela jari kaki. Nelayan yang pulang dengan tangkapan berkeranjang-keranjang. Semuanya seperti adegan yang sama setiap kali ke bibir laut.

“Kamu gak suka naik gunung, ya?” Tanyanya suatu waktu. Aku merespon dengan gelengan.

Aku memang bukan tipe orang yang senang dengan suasana gunung. Di kampungku yang berada di dekat pantai, jaraknya tidak sampai 15 menit dengan roda dua, membuatku susah berpaling ke area pegunungan. Waktu kecil di akhir pekan, pagi atau sore habis waktu dengan bermain bola di tepi pantai bareng teman-teman.

***

Kuliah Citra rampung setahun lebih cepat dariku. Secara usia memang ia di atasku. Dia tidak bisa berlama-lama di Jogja. Setelah membereskan semua urusan kampus, ia pamit padaku. Perpisahan yang sederhana. Aku tidak bisa menebak perasaannya saat itu. Apakah sedih meringkusnya? Atau entalah, aku juga tidak bisa menyimpulkan terlampau jauh.

“Aku pulang duluan. Kamu jangan menunda-nunda kelulusan. Secepatnya juga mesti lulus.” Keretanya berangkat setengah jam lagi. Aku memang sengaja menyediakan waktu untuk mengantarnya ke stasiun. Barang bawaannya cukup banyak. Satu koper dan dua ransel cukup merepotkan jika dibawa sendiri.

“Iya, pasti itu. Ibuku juga tidak memberikan ekstra semester. Lagi pula aku kan harus menyusulmu. Kurasa perpisahan hari ini bukan akhir, ini hanya bersambung ke episode lain.”

Citra hanya membalas dengan seutas senyuman. Sialnya, itu adalah senyuman terakhir yang bisa aku lihat darinya.

Dia sudah masuk ke dalam stasiun. Aku tidak bisa ikut sampai ke dalam. Sebentar lagi kereta berangkat ke barat membawanya ke kampung halaman. Untuk terakhir kalinya kami salaman. Mata kami bertatap sebentar. Punggungnya sudah menghilang bersama orang-orang dengan tujuan sama.

***

Terakhir. Benar-benar perjumpaan terakhir. Kepulangan Citra tidak menyisakan apa-apa selain pertanyaan tanpa jawaban di kepalaku. Nomor ponselnya tidak aktif kurang dari 24 jam setelah dia migrasi keluar Jogja. Aku juga tidak punya alternatif lain untuk menjangkaunya. Kota tempatnya tinggal memang aku tahu, tapi alamat persisnya tidak. Kalaupun aku tahu di mana letak rumahnya, aku cukup ragu ke sana. Aku tidak punya alasan akurat untuk berkunjung.

Jadi selama ini hanya aku yang merasa kalau kami itu ada kedekatan? Sementara dia bagaimana? Salahku tidak pernah menanyakan atau mendeklarasikan kalau kami, satu sama lain, punya ketertarikan. Aku sekarang menyimpulkan secara ganjil, jika hanya aku yang menganggap kebersamaan kami itu lebih dari teman.

Aku bukan tipe laki-laki yang harus menangis karena ditinggal oleh wanitanya. Aku juga tidak bisa terlalu percaya diri jika peristiwa ini persoalan ditinggalkan dan meninggalkan. Berita perihnya ini menjadi fase patah hati yang episodenya tidak singkat. Butuh waktu sedikit lebih lama untuk menerima kenyataan. Untungnya, semua urusan kuliahku tidak berdampak buruk. Aku bisa memisahkan perasaan yang hancur lebur dan tanggungjawabku sebagai mahasiswa.

Meski tersisa ingatan itu, Jogja aku tinggalkan tepat dua minggu beres wisuda. Benar kata orang, Jogja bisa membuat penghuninya jatuh cinta di satu kesempatan dan patah hati di kesempatan lain. Aku pergi dari kota ini bukan dalam rangka ingin membungkus kenangan itu. Aku bisa menerima semuanya. Itu bagian dari perjalananku selama mengejar gelar. Risiko yang harus kutanggung sendiri akibatnya. Citra? Aku tidak tahu apa isi kepalanya tentangku. Hatinya? Terlebih itu. Selama bersama pun aku tidak bisa memastikan apa-apa. Justru aku yang terjebak dengan kenekatanku menyukainya.

Aku tiba di kampung halaman dengan rasa biasa saja. Tidak menggebu-gebu. Aku ingin hari berjalan tanpa harus ada yang dikejar-kejar, meski orang tuaku terus menagih agar ilmu bisa terpakai mencari nafkah. Mereka sudah mengultimatum jika pasokan dana mereka akan selesai dalam waktu dekat dan itu berarti aku harus mulai bekerja.

Delapan bulan pasca pulang, ini di luar dugaanku, aku jadi ASN. Menjadi pegawai kantoran di salah satu instansi di ibukota provinsi. Bukan di kabupaten asalku. Ibu merestui.

“Ini doa Ibu siang malam, Nak.” Ucapnya saat pengumuman dan namaku terekspos di peringkat kedua.

Menjadi ASN tidak masuk dalam kriteria pekerjaan impianku. Mimpi itu milik orang tuaku. Aku mau bekerja apa dan di mana saja, asalkan bukan yang tekurung dengan birokrasi yang ketat dan aku punya keluwesan waktu untuk ke sana kemari. Mau di kata apa lagi, takdirnya memang begitu.

Suatu hari, Ibu menodong minta menantu. Setiba-tiba itu. Aku selalu punya alasan yang bisa diterimanya. Berkali-kali aku bisa lolos. Sesekali aku juga dijebak pada pertemuan dengan beberapa anak kawannya. Tidak ada yang tersangkut di hati. Aku juga khawatir, apakah tempat Citra belum tergeser di sana? Cukup repot menjawab pertanyaan Ibu. Aku juga pernah dimintanya mencari saja wanita single dan siap nikah di kantorku. Syarat Ibu cuma satu: Seiman.

Pertanyaan Ibu sudah berhenti sejak tiga tahun lalu. Bukan karena lelah, ia menyerah pada penyakitnya. Ia wafat sebelum melihatku menikah. Ayah tidak seagresif Ibu, ia sangat mengerti jika jodoh belum waktunya tidak akan pernah tiba.

***

Masa sekarang

Aku mesti terbang ke Jakarta. Kantor menunjukku mendampingi Pak Kasubag. Urusan dinas akan selalu merepotkan. Apa lagi harus ikut ke mana-mana setiap Pak Kasubag pergi. Titipan istri dan anaknya sungguh menguras waktu. Awalnya itu membuatku kesal, namun, setelahnya berubah menjadi keputusan yang paling kusyukuri selama di Jakarta.

Aku melihat Citra. Iya, setelah 15 tahun. Selama itu aku tak melihatnya. Begitu mata ini tak sengaja menangkap wajahnya, ada yang mekar di dada. Benar, itu adalah Citra. Yang berjarak 15 meter dari tempatku berdiri memang Citra. Di sebuah toko tas yang 10 menit lalu masih kugerutui dalam hati tiba-tiba seperti menjadi ruangan 4x4 yang isi manusianya tidak seberapa. Kenapa penglihatanku tempat ini menjadi arena peluncuran buku? Kemudian di sudut paling depan ada seorang perempuan yang dengan lugas melempar pertanyaan buat si Penulis. Ah, ingatanku kembali ke masa pertama kali melihatnya.

Ini kesempatan langka, tidak mungkin ada adegan ulang. Kakiku melangkah buru-buru mendekat. Pak Kasubag masih sibuk mencari sepatu buat istrinya. Tak masalah jika kutinggal sebentar, pun aku tak jauh-jauh darinya. Sebelum suaraku keluar menyebut namanya. Aku berhenti mendekat. Di sebelahnya ternyata ada anak perempuan yang sibuk bongkar pasang sepatu. Aku tidak kaget. 15 tahun tidak bertemu tidak mungkin jika dia belum menikah. Apa yang aku harapkan dari rentang panjang itu? Dia tetap sendiri? Apa lagi dia menghilang seperti ditelan gelap. Itu saja sudah cukup menyimpulkan jika dia memilih orang lain.

Kali ini beda. Kami sudah ada di usia yang tidak perlu lagi bawa perasaan tentang hal-hal yang belum rampung di belakang. Kejadian itu biar menjadi bagian cerita lama. Mengingatnya pun tidak akan membuat banyak hal berubah.

“Citra!” Aku memanggil namanya. Dia menoleh. Bungkam sebentar. Sepertinya dia mencerna wajah orang yang memanggilnya.

“Amri?” Senyumnya sedikit mekar. Dia masih ingat namaku.

“Udah lama banget, ya?” Sergapku buru-buru.

Meski kaget, dia masih bisa menguasai suasana. Dia mengangguk. Kepalanya seperti menyusun kalimat apa yang mesti disemburkan.

“Iya, ya. Terakhir kali ketemu di stasiun.”

Aku tak menyangka itu ingatan pertamanya tentang kami. Sebuah perpisahan yang kukira sebentar ternyata berjarak 15 tahun.

“Oh, ini Nimas. Anakku. Masih taman kanak-kanak.” Sambungnya. Tanganku diraih Nimas. Anak kecil itu sepertinya sudah diajari bagaimana menghadapi orang yang lebih tua dengan adab yang benar. “Sama siapa di sini? Bareng istri?” Cepat sekali pertanyaan itu.

“Aku bareng bos di kantor. Istrinya rewel minta oleh-oleh. Kalau aku belum punya istri.”

Aku tidak bisa membaca pikiran Citra. Apakah itu jawaban yang dia harapkan atau ada yang lain. Aduh, kenapa malah aku yang salah tingkah dan berpikir aneh-aneh? Anggap saja ini bertemu dengan kawan lama. Memang teman lama, kan?

“Belum menikah atau sudah menikah tapi pisah?” Serangnya lagi. Rasanya seperti diintrogasi. Citra butuh jawaban yang tegas. Tidak bertele-tele. Tentu aku tidak harus bohong. Tidak punya alasan untuk menyembunyikan kebenaran.

“Benar-benar belum pernah menikah.” Kataku diplomatis. Jawaban itu menyuburkan senyumnya. Pertanda apa ini? Kok jawaban itu ia balas dengan senyuman? Hari ini pertemuan pertama setelah belasan tahun lebih banyak adegan senyumnya.

“Suami kamu mana?” Ini pertanyaan yang melintas di kepala. Tidak direncanakan akan keluar. Spontan saja terlepas dari mulut. Wajar kan aku bertanya? Dia punya anak.

“Dulu ada. Yang tersisa cuma Nimas. Entah sekarang aku gak tahu dia di mana.”

“Loh, kok bisa? Cerai?” Aku terbawa penasaran.

“Tak ada kabar dan tidak ada cerai. Aku masih istri sah.”

Dia begitu lancar bicara. Seperti kawan akrab yang sedang menumpahkan isi hatinya karena tidak punya telinga lain yang mau menampung keluh kesahnya.

“Ayahnya Nimas pergi dengan siapa dan di mana posisinya saat ini tidak ada yang tahu. Keluarganya pun tidak ada yang dihubungi. Sudah hampir dua tahun semua mencarinya. Hasilnya kosong. Nihil. Kurasa tanggungjawabnya sebagai kepala rumah tangga juga sudah rampung. Tak berbekas sama sekali kepergiannya. Tak ada surat. Pesan elektronik. Kawan lama. Rekan kerja tidak ada yang tahu dan juga tidak ada yang mengira dia akan menghilang. Awalnya kusangka hanya sementara dengan sebab yang akan dijelaskannya begitu kembali. Ternyata hingga hari ini, hidungnya pun tak nampak.”

Pertemuan dengan Citra tidak menghasilkan apa-apa pada perasaanku. Aku memang belum menikah. Namun, Citra bukanlah menjadi alasan kenapa aku tidak bertemu jodoh. Kukira seperti itu, ternyata aku keliru. Hari ini menjelaskan semuanya. Meski peluang itu terbuka kembali. Meski suaminya sudah dia anggap mati. Aku tidak ingin mengulang kesalahan itu. Memberi hatiku kesempatan menyukai seseorang yang belum tentu punya perasaan yang sama meski terlihat ia memang membuka hatinya.

Mendengar cerita Citra aku teringat 15 tahun lalu di stasiun Tugu. Bedanya saat itu Citra pamit dengan senyum yang manis dengan umbaran harapan yang besar. Hari itu kukira adalah awal ternyata akhir. Selesai. Semua selesai di sana.

Jogja, 2025

--

--

rahmat.suardi
rahmat.suardi

Written by rahmat.suardi

anything about football and coffee.

Responses (1)